Tatoo Art Indonesia – Horiyoshi III dikenal luas sebagai salah satu seniman tato paling berpengaruh dalam sejarah tato tradisional Jepang. Lahir pada 1946 dengan nama Yoshihito Nakano, ia merupakan seorang horishi yang mendedikasikan hidupnya pada seni horimono, yakni tato tradisional Jepang berskala penuh yang menutupi tubuh seperti sebuah “baju”. Namanya bukan sekadar identitas pribadi, melainkan gelar kehormatan yang diwariskan dari guru kepada murid dalam tradisi tato Jepang.
Inspirasi Masa Kecil yang Menentukan Jalan Hidup
Ketertarikan Horiyoshi III pada dunia tato bermula sejak usia sangat muda. Saat masih berusia sekitar 11 atau 12 tahun, ia melihat seorang anggota yakuza bertato penuh di pemandian umum. Pengalaman visual tersebut membekas kuat dan menumbuhkan rasa kagum terhadap tato sebagai simbol kekuatan, identitas, dan cerita hidup. Dari momen sederhana itulah, ketertarikan Nakano terhadap seni tato berkembang menjadi panggilan hidup.
Berguru pada Legenda Horiyoshi Yokohama
Perjalanan Nakano semakin serius ketika ia mendatangi Yoshitsugu Muramatsu, legenda tato Jepang yang dikenal sebagai Shodai Horiyoshi dari Yokohama. Ia kemudian ditato oleh Horiyoshi II, putra sang maestro, sebelum akhirnya resmi menjadi murid Horiyoshi I pada usia 25 tahun. Proses magang ini tidak singkat dan menuntut kedisiplinan tinggi, sejalan dengan tradisi seni Jepang yang menekankan kesabaran dan dedikasi.
Baca Juga : OVO Rilis Koleksi WWE Bernuansa Nostalgia, Angkat Era Emas Gulat Profesional
Pewarisan Gelar Horiyoshi yang Sakral
Pada 1971, Muramatsu menganugerahkan gelar Horiyoshi kepada Nakano, menjadikannya Horiyoshi III. Gelar ini bukan nama panggung biasa, melainkan simbol kepercayaan dan legitimasi sebagai penerus tradisi. Kata “Hori” sendiri berarti mengukir atau memahat, mencerminkan filosofi tato sebagai proses artistik yang menyatu dengan tubuh manusia.
Filosofi Tato sebagai Makhluk Hidup
Horiyoshi III memandang tato bukan sebagai karya seni yang berdiri sendiri di atas kanvas. Baginya, tato hanya benar-benar hidup ketika menyatu dengan kulit seseorang. Ia menolak memamerkan desainnya sebagai karya seni terpisah, karena menurutnya, gambar-gambar tersebut baru bernyawa saat bernafas bersama pemiliknya. Filosofi ini menempatkan tato sebagai bagian dari perjalanan hidup manusia, bukan sekadar ornamen visual.
Teknik Kerja yang Menggabungkan Tradisi dan Modernitas
Di studionya di Yokohama, Horiyoshi III melakukan proses outlining tato secara freehand menggunakan mesin listrik, meski hingga akhir 1990-an ia masih mengerjakannya sepenuhnya dengan tangan. Pengaruh sahabatnya, seniman tato Amerika Don Ed Hardy, mendorongnya mengadopsi mesin elektrik. Namun demikian, proses pewarnaan dan shading tetap dilakukan dengan teknik tradisional tebori, menjaga ruh klasik tato Jepang.
Motif Klasik yang Dijaga Sepanjang Karier
Horiyoshi III membatasi motif karyanya pada repertoar klasik cerita dan simbol Jepang. Koi, naga, peony, tenyo, hingga figur kepahlawanan menjadi tema utama. Ia merasa memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga warisan visual ini tetap hidup. Setiap tusukan jarum, menurutnya, adalah bentuk perlawanan terhadap hilangnya tradisi di tengah modernisasi.
Proses Panjang dan Biaya Tinggi
Satu karya Horiyoshi III bukan proyek singkat. Tato tubuh penuh dapat memakan waktu bertahun-tahun dengan sesi mingguan yang konsisten. Biayanya pun mencapai puluhan ribu dolar. Proses panjang ini mencerminkan kedalaman komitmen antara seniman dan klien, sekaligus menegaskan bahwa horimono adalah perjalanan, bukan hasil instan.
Peran Museum dan Dukungan Keluarga
Istrinya, Mayumi Nakano, berperan sebagai manajer umum Bunshin Tattoo Museum di Yokohama. Museum ini menjadi ruang edukasi sekaligus arsip hidup karya Horiyoshi III. Kehadiran keluarga dalam pengelolaan warisan seni ini menunjukkan bahwa horimono bukan sekadar profesi, melainkan kehidupan yang dijalani bersama.
Buku dan Pameran sebagai Dokumentasi Sejarah
Karya Horiyoshi III telah didokumentasikan dalam berbagai buku dan pameran internasional. Dari publikasi bersama Ed Hardy hingga pameran besar di Somerset House, London, pada 2012, karyanya diakui sebagai bagian penting dari seni global. Dokumentasi ini memastikan horimono tetap dikenal lintas generasi dan budaya.
Akhir Masa Mengajar dan Satu-satunya Pewaris
Kini, Horiyoshi III membatasi pekerjaannya hanya untuk menyelesaikan tato klien lama. Ia hanya memiliki satu murid terakhir, putranya sendiri yang bergelar Souryou Horiyoshi IV. Keputusan ini menandai fase akhir transmisi pengetahuan langsung, sekaligus menegaskan ketatnya standar pewarisan tradisi.
Warisan Horiyoshi III dalam Seni Tato Dunia
Horiyoshi III bukan sekadar seniman tato, melainkan penjaga tradisi. Melalui disiplin, filosofi, dan dedikasi seumur hidup, ia memastikan horimono tetap dihormati sebagai seni bernilai tinggi. Di tengah dunia yang serba cepat, karyanya menjadi pengingat bahwa seni sejati membutuhkan waktu, kesabaran, dan penghormatan pada akar budaya.
